TEMPO.CO, Jakarta - Kampanye Ring The Bell adalah perayaan sekaligus pemberitahuan bagi setiap pemangku kepentingan pendidikan di dunia. Kampanye ini ingin setiap orang meningkatkan kepedulian terhadap akses pendidikan khususnya bagi anak-anak difabel.
Baca: Surya Candra, Caleg Difabel Pembela Kaum Buruh
"Kami semua yang juga merasakan manfaatnya, betapa bahagianya dapat menempuh pendidikan dan bersekolah," ujar Bambang Basuki, praktisi pendidikan inklusif sekaligus Ketua Yayasan Rehabilitasi dan Habilitasi bagi tunanetra, Mitra Netra di Lebak Bulus, Jumat 15 Maret 2019. Pada kesempatan itu, berbagai alat musik dan peluit dibunyikan oleh puluhan tunanetra baik dewasa maupun anak-anak.
Bunyi-bunyian ini menjadi penanda dimulainya kampanye pendidikan terakses bagi setiap orang. "Kami mendukung pendidikan yang dapat diakses oleh siapapun, termasuk tunanetra. Sebab dengan pendidikan kami dapat memiliki ilmu sekaligus pengakuan terhadap kompetensi," ujar Bambang Basuki.
Ring The Bell adalah gerakan yang diinisiasi Lilianne Foundation di Belanda sejak 2012. Gerakan ini bertujuan menarik perhatian dunia mengenai pentingnya hak pendidikan bagi setiap anak di dunia. Dengan membunyikan berbagai alat selama 1 menit, gerakan tersebut bermaksud memberitahukan kepada publik masih ada anak-anak yang belum mendapat akses pendidikan, salah satunya anak-anak dari kelompok penyandang disabilitas.
Baca juga: Kondisi Difabel yang Bisa Melihat namun Tak Kenal Wajah Sendiri
Kampanye Ring The Bell sudah dilakukan di Indonesia sejak 2018. Salah satu kegiatan kampanye ini banyak dilakukan di sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Berdasarkan data BPS tahun 2017, masih ada 18 persen anak Indonesia dengan disabilitas yang belum terakses pendidikan. Sebagian berasal dari keluarga tidak mampu, sebagian lain karena tidak mendapat informasi tentang pendidikan inklusif bagi anak difabel.